Nama Sunda mulai disebut-sebut setelah kerajaan Tarumanegara pecah menjadi 2 yaitu Galuh dan Sunda. Dalam perkembangannya kemudian Galuh dan Sunda bisa dipersatukan lagi dan membentuk kerajaan Sunda Galuh atau disebut Sunda saja. Pusat kerajaan Sunda ini dikenal dengan nama Pakuan Pajajaran atau kota Pajajaran yang kurang lebih terletak di Bogor sekarang. Jadi berdasarkan sejarah istilah Sunda sebenarnya bukan merujuk kepada nama suku ataupun bahasa tapi nama bekas kerajaan yang sangat berpengaruh terutama di Pilau Jawa sebelah Barat.
Nama Jawa mulai dikenal dari Java dvipa yaitu nama julukan untuk P Jawa pada jaman awal ketika pengaruh budaya india dan kepercayaan Hindu-Budha mulai masuk ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan mempengaruhi budaya/peradaban lokal menumbuhkan kerajaan Tarumanegara, Kutai dan Srivijaya serta kerajaan Hindu-Budha kecil lainnya. Tanah Jawa pada jaman ini dikenal dengan julukan Java Dvipa (pulau padi) dan Sumatera pula dijuluki Svarna dvipa (pulau emas). Sebagai daratan tanah Jawa disebut juga Javabhumi (Bumi Jawa) dan Sumatera disebut Svarnabhumi (land of the gold). Sekarang nama Svarnabhumi menjadi nama lapangan terbang International Bangkok. Kata Jawa didopsi dari nama Java dari bahasa sangsakerta (india kuno) yang merujuk kepada padi karena pulau ini sangat subur ditumbuhi padi dan padi adalah sejenis tanaman java di India (barley dalam Inggris). Jadi nama Jawa pada mulanya tidak ada kaitannya dengan suku atau bahasa Jawa sekarang ini sebagaimana nama Sunda tidak ada kaitannya dengan suku atau bahasa jawa.
Muncul pertanyaan siapa itu orang sunda dan siapa orang jawa? Baik orang Sunda maupun orang Jawa dua-duanya adalah orang Jawa. Dari sejarah kerajaan-kerajaan kuno di P Jawa hampir tidak terlihat batas dan jarak untuk membedakan mana orang jawa dan mana orang sunda. Kalau dijaman sekarang hubungan Jawa-Sunda sering dianggap sebagai dua suku yang sama sekali berbeda bagai minyak dan air dan hubungannya renggang secara historis akibat sejarah lama yang dikait-kaitkan dengan warisan luka perang Bubat akibat kegagalan perkawinan Raja Majapahit (hayam Wuruk) dan putri raja Pajajaran (Dyah Pitaloka), sebetulnya itu kaitan yang tidak mencerminkan hubungan Sunda-jawa secara utuh dan menyeluruh dalam rentang kurun sejarah yang panjang. Jauh sebelum peristiwa Bubat muncul, sejarah banyak mengindikasikan bahwa sama sekali tidak ada penghalang hubungan antara Jawa dan Sunda karena pada dasarnya mereka lebih memiliki banyak kesamaan dan kemiripan akar budaya, kepercayaan, tradisi, genetik dan bahkan bahasa. Baik orang Sunda maupun orang jawa mereka tidak pernah mengangap asing satu dengan lainnya. Pertalian kekerabatan antara kerajaan Jawa dan sunda juga terjalin kuat sejak sejarah kerajaan di Jawa muncul dip eta sejarah.
Sebut saja Ketika Tarumanegara pecah maka kerajaan Kalingga dari Jawa Tengah (terkenal dengan Ratu Shima) menengahinya sehingga Tarumanegara dibelah dua secara damai menjadi Sunda dan Galuh. Ini karena keluarga diraja Kalingga memiliki hubungan keluarga dengan keturunan diraja Tarumanegara yang berkuasa di Galuh. Berdasarkan sejarah, Sanjaya (pendiri Wangsa Sanjaya – Mataram Kuno) adalah hasil keturunan campuran darah Tarumanegara (Galuh) dan Kalingga. Keeratan Sunda Galuh dan Kalingga memang bisa dimengerti karena Tarumanegara bukanlah kerajaan agresor yang ingin menguasai wilayah selebar-lebarnya seperti Srivijaya ketika itu.
Hubungan kekerabatan keturunan raja-raja Sunda dan jawa juga terus berlangsung sampai keera wangsa Isana (Empu Sendok). Di sini diceritakan bahwa Raja Sunda terkenal Prabu Sri Jaya Bhupati menikah dengan puteri kerajaan Medang (Dharmawangsa) dari jawa timur adik iparnya Airlangga. Prabu Sri Jaya Bhupati sendiri adalah keturunan campuran darah ningrat Sunda dan Srivijaya. Ketika Medang diserang habis-habisan oleh Srivijaya maka Jaya Bhupati diceritakan dalam posisi sulit dan dilemma dan sebab itu bersikap netral karena disatu pihak dia punya separo garis keturunan dari Srivijaya dan dipihak lain isterinya adalah keturunan Raja Medang ketika itu. Kerajaan Sunda ketika terjadi perang yang sering terjadi berkali-kali antara Srivijaya dan kerajaan di tanah Jawa selalu mengambil sikap netral dan berusaha menjalin kekerabatan baik dengan Srivijaya maupun dengan kerajaan Jawa.
Raden Wijaya sendiri yaitu pendiri kerajaan besar Majapahit menurut sumber merupakan darah campuran antara keturunan raja Sunda dengan keturunan Ken Arok Sang pendiri Singosari. Perkawinan kerabat raja Sunda dengan keturunan Singosari tentu dimaksud untuk simbol persahabatan kedua kerajaan yang juga pernah dilakukan Kerajaan Sunda terhadap Kerajaan Medang, Kalingga dan Srivijaya. Tetapi khusus tentang pernyataan bahwa Raden Wijaya adalah separo Sunda banyak disangkal ahli sejarah khususnya mereka yang mempercayai seratus persen kitab Nagarakartagama karangan Empu prapanca. Alasanya karena NagaraKartagama ditulis belum lama setelah Raden Wijaya wafat dan diperkuat oleh prasasti lainnya. Dalam Nagarakartagama dituliskan bahwa Dyah Lembu Tal yang dalam versi ahli yang mempercayai Raden Wijaya punya darah keturunan kerajaan Sunda disebutkan sebagai Ibu dari Raden Wijaya ternyata dalam Nagarakertagama disebutkan Lembu Tal ini adalah laki-laki yang tidak lain ayahnya Raden Wijaya (bukan Ibu) dan ibunya Raden Wijaya sendiri malah tidak disebut-sebut dalam nagarakartagama.
Saya sendiri belum mempercayai Nagarakartagama sepenuhnya sebagai tulisan jujur, jadi masih lebih meyakini Lembu Tal itu ibunya Raden wijaya dan punya keterkaitan keturunan dengan keluarga Raja-raja Sunda. Negarakertagama sebagai karya tulis jelas didedikasikan untuk puja-puji kebesaran Majapahit dan Raja-rajanya dan menyembunyikan borok didalamnya. Itulah sebabnya Nagarakartagama tidak pernah menyinggung lebih dalam lagi leluhur raja-raja majapahit yaitu mulai dari pertempuran berdarah dan perebutan kekuasaan dari sejak Ken Arok – Tunggul Ametung sampai keanak cucunya. Demikian pula walau Bubat disinggung dalam Nagarakertagama tapi perang Bubat antara Pajajaran dan Majapahit yang menyebabkan matinya calon penganten dan calon mertua Hayam Wuruk dari kerajaan Sunda tidak disinggung sama sekali.
Penyebutan Lembu Tal sebagai ayah Raden Wijaya ada kemungkinan karena untuk menghindarkan pertentangan garis keturunan dalam dinasti Ken Arok mengingat dinasti ini sepanjang sejarahnya sangat sarat dengan perang keluarga dan pembunuhan yang berkaitan dengan tahta dan keturunan. Penyebutan ayah Raden Wijaya adalah seorang lelaki keturunan kerajaan Sunda mungkin bisa menjadi pemicu untuk menghasut keturunan lain berontak. Tapi memang perlu diakui tidak ada yang pasti dalam mengungkap status asal usul Raden Wijaya ini sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kembali kepada pertanyaan Siapa itu orang Sunda dan siapa Orang Jawa, maka dari rentetan cerita diatas saya berkesimpulan mereka sebenarnya satu kerabat dekat yang memiliki tali persaudaraan, punya kesamaan tradisi dan kepercayaan. Yang lebih mengejutkan lagi prsasti tentang Kerajaan Sunda pada jaman Raja Jaya Bhupati yang ditulis sekitar awal abad ke-11 diketemukan di Cibadak sukabumi, ternyata diulis dalam bahasa Jawa kuno. Ini member indikasi kuat bagi saya sebenarnya yang namanya bahasa kehidupan orang P. Jawa kuno adalah kurang lebih hampir sama dan cenderung dipengaruhi banyak oleh kata-kata dari bahasa India kuno. Pada perkembangannya karena pengaruh kekuasaan wialay kerajaan, maka antara Jawa Barat dan jawa belahan lainnya berubah kearah berbeda. Jawa-Barat hampir bisa dikatakan secara kontinyu dikuasai oleh kerajaan keturunan Tarumanegara dan pecahannya samapai era kerajaan islam terutama banten dan kesultanan Cirebon berdiri. Ini yang menyebabkan Jawa sebelah barat kemudian berkembang secara eksklusif baik dari segi bahasa maupun identitas kesukuan dan pada perkembangan sejarah modern kemudian mereka menamakan dirinya sebagai orang Sunda atau lebih tegas lagi berubah menjadi suku sunda karena memang dari dulunya merupakan masyarakakat dibawah langsung kerajaan Sunda. Kerajaan Tarumanegara, Sunda atau pajajaran walau satu ketika pernah menjadi kerajaan dibawah bayang-bayang kekuasaan Srivijaya, singosari ataupun Majapahit tapi tidak pernah secara langsung dikuasia atau disentuh kerajaan besar tersebut.
Pertama karena kerajaan Sunda selalu menerapkan strategi hubungan baik dan kekeluargaan dengan kerajaan yang berusaha mencaploknya. Ini terbukti bahwa keturunan kerajaan Sunda banyak menikah dengan keturunan raja-raja Jawa dan Sumatera. Kedua, karena letak Jawa Barat adalah dipintu masuk antara Sumatera dan jawa maka kerajaan Sunda memiliki letak yang strategis. Srivijaya terlalu kuat disebelah barat untuk bisa ditundukan sepenuhnya oleh kerajaan jawa dan sebaliknya pula kerajaan jawa yang dalam perkembangannya lebih menjurus kewilayah timur (jawa timur) terlalu jauh untuk dijangkau dan dirundukan Srivijaya. Dengan demikian wilayah jawa barat merupakan wilayah yang tidak pernah sepenuhnya dan secara kontinu dijadikan pusat pemerintahan maupun kegiatan militer kerajaan Jawa, kecuali pada masa kerajaan Islam Demak yang menyerang Sunda Kelapa dan membangun pertahanan disitu. Inilah yang menyebabkan wilayah Jawa-Barat relatif tidak banyak tersentuh pengaruh budaya kerajaan kerajaan Jawa selain kerajaan Sunda. Dengan demikian dalam perkembangannya daerah jawa barat berubah menjadi pusat budaya dan bahasa yang berkembang kearahnya tersendiri.
Sejurus dengan pengaruh retaknya hubungan Majapahit pajajaran akibat peran bubat pada abad ke-14 kemudian munculnya era penyebaran kebudayaan Islam di Jawa yang dilanjutkan dengan lahirnya penjajahan barat, maka Jawa barat sudah renggang terpisah dari wilayah jawa lainnya dan berkembang sendiri mencari bentuknya sendiri. Maka dari situlah apa yang terlihat sekarang lahir perbedaan antara bahasa dan budaya Sunda dan non-Sunda di tanah Java Dvipa. Orang modern kemudian menyebut budaya Java warisan kerajaan Sunda disebut Jawa-sunda atau Sunda saja dan wilayah Jawa lainnya bekas kekuasaan Majapahit sebagai Jawa-Jawa atau Jawa saja. Majapahit tidak pernah mengganggu kerajaan Sunda bukan karena Majapahit takut Sunda tapi merupakan bentuk tanggung-jawab moral Hayam Wuruk terhadap masyarakat Sunda yang merasa prihatin tidak bisa mengatasi kesalah pahaaman atas terjadinya malapetaka Bubat dan tidak ingin mengingat-ingat kisah pahitnya dengan Dyah Pitaloka. Ini menunjukkan bahwa Hayam wuruk memang tidak bermaksud menciptakan perang Bubat demi kekuasaan.
Source : Sulaeman H.
No comments:
Post a Comment